Penulis : Suherman
(Penggiat Hukum Provinsi Kepri)
Minggu 17 April 2022.
OPINI- Bicara hukum, tentunya mahasiswa hukum atau praktisi hukum yang mendalami lapangan ilmu hukum pidana tidak terlepas berbicara pasal-pasal dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, karena unsur-unsur pasal dalam aturan hukum berfungsi sebagai unjuk bukti dan pengenjawantahan asas legalitas.
Fenomena kasus yang lagi viral saat ini adalah terkait korban begal di Nusa Tenggara Barat dijadikan tersangka karena pelaku begal mati akibat perlawanan. Sesungguhnya jika dilihat secara sekilas serasa kurang adil karena korban melakukan perbuatan tersebut dikarenakan terpaksa/Overmacht atau pembelaan darurat/Noodweer.
“Overmacht dan Noodweer termuat di dalam pasal 48 dan pasal 49 KUHP, kedua pasal ini disebut juga suatu alasan pembenar atau alasan pemaaf di dalam lapangan ilmu hukum pidana.”
Sebenarnya kasus pembelaan atau melakukan perbuatan karena terpaksa ini bukan hal yang baru dalam fenomena praktek hukum di Indonesia, karena sebelum perkara ini mencuat pun, kasus di kabupaten Malang Tahun 2020 terkait pelajar SMA dalam membela diri dari perbuatan pembegalan yang mengakibatkan begal tersebut mati sudah viral di media massa.
Kasus tesebut pun merupakan sama- sama mendapatkan perhatian masyarakat dan berbagai para pengamat ilmu hukum pidana.
Namun dalam hal ini ada perbedaan perlakuan penanganan perkara antara pelajar SMA tersebut berisial “ZA” dengan pria berinisial “AS” di Lombok atau Nusa Tenggara Barat.
Perbedaannya pun tentunya terlihat sekali karena yang satu diselesaikan atau di bawak ke pengadilan untuk di sidang atau diadili sedangkan yang kasus yang di NTB ini tidak sampai pengadilan karena sudah di hentikan oleh pihak kepolisian.
Pertanyaan sebenarnya kenapa kasus ini berbeda penanganannya, yang satu dibawak ke pengadilan yang satu tidak sampai ke Pengadilan?. Saya berpendapat sebenarnya apa yang dilakukan oleh Polri terkait penghentian perkara pembunuhan para begal di NTB sudah cukup bagus dan berkeadilan untuk korban, tetapi hal tersebut belum tentu sesuai norma hukum, namun kiranya Polri perlu di kritik juga terkait dalam proses penafsiran hukum yang menyatakan dalam perkara ini tidak ada unsur melawan hukum.
Sebenarnya kalau bicara penafsiran hukum hampir semua orang boleh-boleh saja menafsirkan aturan hukum karena Profesor Sutjipto Rahardjo pun pernah mengatakan bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, dan hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi adil dan membumi.
“Menurut saya perbedaan atau disparitas penanganan perkara yang dilakukan Polri dalam kasus yang menimpa pelajar SMA tersebut diselesaikan Polri di pengadilan karena jika bicara Dokmatik hukum maka sudah sesuai dengan Pasal 48 dan Pasal 49 KUHP, lihat lebih lanjut (R.Soesilo,1996 halaman 66). Tegasnya dengan memasukan ke pengadilan itu sudah sesuai dengan norma hukum pasal 48 dan pasal 49 KUHP. Sebenarnya apapun bentuknya, mau ada alasan pembenar dan alasan pemaaf seharusnya Polri dalam kasus pembunuhan begal di NTB harus adil juga dan membawa kasus tersebut ke pengadilan, karena pengadilan nanti memeriksa, memutuskan dan mengadili apakah ada atau tidak unsur melawan hukumnya.
Kalau langsung di hentikan dirasa Polri dalam penanganan ini telah mengambil tugas dari hakim pengadilan sebagai penghukum atau pembebas dari pelaku perbuatan, padahal Polri hanya mempunyai kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam artian diskriptif normatif.
Konstitusi kita pun sudah jelas membagi dari fungsi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, jadi menurut saya dalam hal ini Polri sudah menjelma sebagai Yudikatif karena tidak membawa kasus ini ke pengadilan untuk pembuktian.
Seharusnya antara kasus yang sama harus diputus sama pula sepanjang fakta-fakta hukum dapat dibuktikan dipengadilan. Karena kasus pembelaan begal yang dilakukan pelajar SMA sudah dibuktikan di pengadilan dan telah mendapatkan vonis Hakim dari Pengadilan Negeri Kepanjen bahwa dengan adanya 1 Tahun pembinaan.
Sebagai penutup dari opini yang singkat ini, penulis mengutip Maksim dari Herman Kantorowichs, seorang yuris agung, menyatakan bahwa hukum sebagai apa yang diputus oleh pengadilan sama dengan mengatakan bahwa obat adalah apa yang dituliskan di atas kertas resep oleh dokter. Meskipun dokter dapat saja menuliskan racun diatas kertas resep, sang pasien menaruh kepercayaan penuh bahwa obat yang ditulis diresep itu adalah untuk menyembuhkan penyakitnya. (***).
Discussion about this post