BATAM- Kota Batam telah menjadi salah satu daerah sentra produksi hortikultura di Provinsi Kepri. Meskipun Batam lebih dikenal sebagai pusat ekonomi industri dan perdagangan, namun terbukti Kota Batam masih mampu menjadi produsen cabai terbesar di Kepri. Menurut BPS Kepulauan Riau (2019), Kota Batam masih menjadi daerah penghasil cabai terbesar dengan jumlah produksi pada tahun 2018 sebesar 23.601 ton, kemudian daerah Kabupaten Bintan dengan jumlah produksi sebesar 4.400 ton pada tahun yang sama.
LIDIKNEWS.CO.ID- Selain cabai, produk hortikultura yang banyak diusahakan petani di Kota Batam adalah sayuran seperti kangkung, kacang panjang, bayam, dan sawi. Sayangnya hingga saat ini tidak semua produk hortikultura mampu diproduksi petani Kota Batam untuk memenuhi jumlah kebutuhan penduduk lokal yang mencapai 1.329.770 jiwa (BPS Kepri, 2019). Upaya peningkatan produksi untuk pemenuhan kebutuhan produk hortikultura di Kota Batam terus diupayakan beberapa pihak termasuk BPTP Kepri sejak tahun 2018.
Kepala BPTP Kepri, Dr. Ir. Sugeng Widodo, MP., menjelaskan BPTP Kepri tahun 2018 telah mengenalkan teknologi Produksi Lipat Ganda (Proliga) cabai di daerah Bulang, Kota Batam. Teknologi ini nyata mampu meningkatkan produktivitas cabai sebesar 40-60% dibanding cara biasa yang dilakukan petani konvensional (BPTP Kepri, 2019). Bahkan teknologi ini mulai diadopsi oleh sebagian POKTAN di wilayah Kota Batam dan Kabupaten Bintan. Namun meskipun jumlah produksi belum sepenuhnya memenuhi jumlah kebutuhan, produk yang dihasilkan petani juga harus memiliki kualitas yang bagus saat diterima konsumen. Selasa 9 Juni 2020.
“Dalam pertanian, antara kuantitas dan kualitas harus beriringan. Kita tidak boleh terus meningkatkan kuantitas produksi tanpa memperhatikan kualitas produk, karena gaya hidup konsumen kita sudah mulai mengarah pada gaya hidup sehat yang mengutamakan konsumsi produk-produk berkualitas. Peningkatan produsen sayuran di Batam disebabkan karena harga sayuran cukup menjanjikan dan relatif stabil, dimana permintaan selalu meningkat karena masyarakat sudah mulai tahu akan kesehatan untuk hidup sehat,” ungkap Dr. Sugeng Widodo selaku Kepala BPTP Kepri.
Masalah kualitas produk, selain ditentukan aspek teknis produksi juga dipengaruhi proses pemasaran produk dari petani hingga sampai kepada konsumen akhir. BPTP Kepri mencoba memetakan saluran tataniaga produk hortikultura di Kota Batam untuk mengidentifikasi permasalah pemasaran yang terjadi. Secara umum saluran tata niaga produk hortikultura di Kota Batam sama seperti saluran tataniaga sayuran di daerah lain, dimana petani menjual produknya kepada pengumpul atau pedagang besar (Kartikasari, 2010). Kemudian pengumpul atau pedagang besar tersebut menjual kembali produk hortikultura kepada pedagang pengecer yang tersebar di beberapa pasar kecil di Kota Batam. Produk hortikultura di pedagang pengecer dapat dibeli langsung oleh konsumen atau dibeli kembali oleh pedagang pengecer selanjutnya yang menjual produk hortikultura di kios atau warung kecil miliknya di sekitar perumahan warga. Konsumen organisasi (industri pengolahan makanan dan rumah makan) dapat membeli produk langsung dari pedagang besar karena biasanya membeli dalam jumlah banyak, sementara konsumen rumah tangga umumnya membeli dari pedagang pengecer yang tersebar di wilayah Kota Batam. Secara jelas saluran tataniaga produk hortikultura di Kota Batam dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, pedagang pengecer dengan metode Quick Assessment pada bulan Desember 2019 pada wilayah sentra-sentra cabe, margin terbesar ternyata pada pedagang besar maupun pengumpul/pedagang kecil. Secara umum petani produsen memang tetap untung dalam usahatani sayuran namun margin lebih rendah dibandingkan dengan pedagang pengumpul dan pedagang besar. Petani sayuran sulit untuk menahan produk nya karena sayuran tipe cepat rusak dan hanya mampu bertahan 3-7 hari. Ikatan niaga perdagangan sayuran sangat kuat di Kota Batam, sehingga produsen petani ingin meningkatkan margin mengalami kesulitan. Namun hal ini juga baik bagi konsumen akhir yang membeli sayuran tidak terlalu mahal, sehingga keseimbangan harga tercapai dan sama-sama diuntungkan antara produsen, pedagang dan konsumen akhir sayuran tersebut.
Beberapa petani milenial yang adaptif terhadap perkembangan teknologi mulai memasarkan hasil panennya secara online di media sosial miliknya. Hal ini tentu memotong saluran pemasaran dimana produk dari petani langsung berpindah ke tangan konsumen sehingga kualitas produk yang diterima konsumen dapat terjamin. Namun kualitas produk juga harus tetap terjaga pada saluran tataniaga yang cukup panjang. Hal ini mengingat produk hortikultura seperti sayuran yang bersifat mudah rusak dan menyebabkan nilai jual yang menurun, padahal produk hortikultura Kota Batam dapat dipasarkan hingga Kota Tanjungpinang dan Kab. Bintan.
Terkait masalah ini, BPTP Kepulauan Riau juga berupaya membantu melalui inovasi teknologi penanganan pascapanen sayuran untuk mempertahankan kesegaran produk saat transportasi yang jauh. “Tim peneliti pascapanen BPTP Kepri sudah merancang inovasi teknologi sederhana dengan memanfaatkan kotak styrofoam yang dilengkapi es. Teknologi ini mudah diaplikasikan petani maupun pedagang saat mendistribusikan produk-produk hortikultura ke lokasi yang jauh bahkan antar pulau” jelas Dr. Sugeng Widodo.
Melalui identifikasi pemasaran ini, BPTP Kepri terus berupaya membantu pengembangan pertanian di Kepulauan Riau baik dari aspek kuantitas melalui teknis budidaya yang menerapkan teknologi spesifik lokasi, hingga aspek kualitas yang menjaga mutu produk yang dihasilkan petani tetap optimal hingga sampai ke konsumen.
Penulis: Khoiru Rizqy Rambe dan Sugeng Widodo/Red
Discussion about this post