PALEMBANG, Lidiknews.co.id- Setelah dari Kota Batam lalu Kabupaten Karimun di Provinsi Kepulauan Riau, sampai Medan di Sumatera Utara dan Pekanbaru Provinsi Riau, kembali Iskandar Sitorus Ketua Umum Aspemo, berakhir di kota Palembang Sumatera Selatan tempat kelahirannya 47 tahun lalu, melayangkan kritik terhadap Dewan Pers (DP).
Kritikan tersebut dirilis Ketum Asosiasi Pemilik Media Online (ASPEMO) Iskandar Sitorus melalui WhatsApp diterima media ini, Minggu (12/11), di WhatsApp (WA) Group Aspemo.
Ketua umum ASPEMO Iskandar Sitorus mengingatkan , agar Dewan Pers (DP) tidak menabur apalagi sampai memupuk sesuatu pernyataan dan atau terlebih kegiatan yang akan menciptaan suasana perpecahan terhadap masyarakat pers, ujarnya kepada wartawan di Palembang, Minggu (12/11/2017).
Dewan Pers (DP) harus menahan diri dari sikap melawan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yakni terkait mengeluarkan aturan untuk tujuan apapun sebab mereka bukan regulator.
Dewan Pers (DP) itu, menurut UU Pers adalah fasilitator. Silahkan dibaca pasal 15 ayat 2 butir e yang isinya tegas menyebut Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, tambah dia.
Nanti produk dibidang pers itu yang dilegalkan ke dalam produk tata urutan perundang-undangan positif di negara kita. Agar ada kepastian hukum, sambungnya.
Jadi tidak ada dasar hukum bagi Dewan Pers (DP) membuat aturan apapun, seperti terkait uji kompetensi wartawan yang dikenal dengan nama UKW. Semua itu tidak bisa dan dibenarkan karena tidak berdasarkan UU Pers. Jelas Iskandar.
Lalu, Dewan Pers (DP) juga harus segera meralat seluruh pernyataannya terkait, apa yang mereka namakan akan memverifikasi perusahaan atau media pers. Karena hal itu membuat banyak penolakan dari berbagai pihak terhadap pers diberbagai wilayah Indonesia. Tegasnya.
Dewan Pers (DP) hanya mempunyai kewenangan mendata perusahaan pers sesuai pasal 15 ayat 2 butir f dan bukan verifikasi, ungkapnya.
Sebab, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) definisi mendata adalah mengambil atau meminta keterangan yang benar dan nyata atau melakukan pendataan.
Itu berbeda dengan definisi verifikasi, yakni meneliti dan menentukan kebenaran suatu laporan. Jelas Iskandar.
Apa mereka (Dewan Pers-red) tahu atau tidak tentang kondisi rieal yang dihadapi teman-teman pers di daerah akibat hembuskan isu verifikasi?. Tentu jawabannya tidak tahu, sebab Dewan Pers terlihat tidak pernah perduli.
Banyak hal negatif dalam bentuk persepsi yang kami temukan dalam sebulan ini, dialami para pemilik media online seperti di Kabupaten Karimun Provinsi Kepri, Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Timur.
Jadi Dewan Pers tidak punya kewenangan untuk verifikasi, namun pernyataan mereka melahirkan gangguan terhadap media online diberbagai daerah.
Dewan Pers (DP) jangan memposisikan diri sebagai racun pembunuh padahal seharusnya jadi pupuk kehidupan bagi dunia pers.
Realita kondisi pers Indonesia yang ada sekarang harus dipupuk sesuai jaminan perundangan. Biar menjadi lebih baik. Bukan malah dimusuhi hanya karena Dewan Pers menggunakan ukuran yang tidak berdasar perundangan. Ukuran yang tidak berdasar itu sudah sangat meresahkan.
Kami melihat Dewan Pers sudah mulai dianggap menjadi seperti virus mematikan bagi pers Indonesia. Khususnya bagi teman-teman online di daerah.
Dari pada anggapan buruk itu terus berkembang dan biasnya kemana-mana, kami sarankan Dewan Pers kembali saja ke posisi sesuai perintah UU Pers.
Mengingat UU No 40 Tahun 199 tentang Pokok Pers sampai saat ini belum ada turunannya.
Sekali lagi kami tegaskan, mereka harus kukuh melaksanakan dengan baik dan benar terkait Bab V pasal 15 ayat 2 butir f UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yakni upaya mendata perusahaan pers dan bukan verifikasi. Tegas Iskandar Sitorus.
Inti masukan dari Aspemo, UU Pers yang hanya 21 pasal dan berusia 18 tahun itu sebaiknya ditanggung-jawabi Dewan Pers agar segera diuraikan secara rinci sehingga mudah dijadikan sebagai pedoman teknis. Jangan jadi Dewan Pers menafsir dengan sesukanya.
Itu saja dulu dikerjakan Dewan Pers (DP), masa 21 pasal gagal diurai selama 18 tahun sih?. Kami masyarakat pers jadi ikut merasa malu. Malunya itu sudah sampai ke ubun-ubun, tutupnya berumpama. (red)
Discussion about this post