Cetak Sawah Baru: Pedang Bermata Dua bagi Ketahanan Beras
Program cetak sawah baru seringkali digulirkan dengan harapan besar untuk meningkatkan produksi beras nasional dan mencapai swasembada pangan. Secara teoritis, penambahan luasan lahan pertanian memang berpotensi mendongkrak volume panen dan mengurangi ketergantungan impor. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dampaknya terhadap penciptaan beras jauh lebih kompleks dan berpotensi menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, jika dilakukan di lahan yang tepat dengan perencanaan matang, cetak sawah baru dapat membuka area produktif yang signifikan. Ini dapat memberikan dorongan jangka pendek bagi ketersediaan beras.
Namun, di sisi lain, program ini sering menghadapi tantangan besar yang justru bisa menghambat atau bahkan mengancam keberlanjutan produksi beras:
- Kualitas Lahan yang Suboptimal: Banyak program cetak sawah baru dilakukan di lahan non-pertanian seperti gambut, rawa, atau hutan yang secara alami kurang subur. Lahan ini membutuhkan investasi besar, waktu lama, dan upaya ekstensif untuk menjadi produktif optimal, dengan hasil panen awal yang mungkin jauh di bawah ekspektasi.
- Dampak Lingkungan Negatif: Konversi lahan seringkali memicu deforestasi, kerusakan ekosistem gambut, pelepasan emisi karbon tinggi, dan perubahan tata air. Kerusakan lingkungan ini bisa berbalik mengancam keberlanjutan pertanian itu sendiri di masa depan, misalnya melalui banjir, kekeringan, atau penurunan kualitas tanah jangka panjang.
- Masalah Ketersediaan Air: Lahan baru mungkin tidak memiliki akses irigasi yang memadai, menjadikan produksi beras sangat rentan terhadap kondisi cuaca dan ketersediaan air.
- Biaya Tinggi dan Efisiensi Rendah: Biaya pembukaan dan pengelolaan lahan baru sangat tinggi, seringkali tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, terutama jika produktivitas lahan rendah.
Singkatnya, program cetak sawah baru memang menjanjikan peningkatan produksi beras secara kuantitas. Namun, tanpa kajian mendalam tentang kelayakan lahan, dampak lingkungan yang komprehensif, dan strategi pengelolaan yang berkelanjutan, program ini berisiko menjadi investasi mahal dengan hasil yang tidak optimal, bahkan bisa memperburuk ketahanan pangan dan merusak lingkungan dalam jangka panjang. Efektivitasnya bukan hanya diukur dari luasan lahan yang tercetak, melainkan dari produktivitas berkelanjutan dan dampak ekologisnya.






