Faktor Sosial Budaya dalam Mendorong Terjadinya Kekerasan Seksual

Ketika Norma Meracuni: Menguak Akar Sosial Budaya Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual bukanlah fenomena tunggal yang berdiri sendiri, melainkan sebuah masalah kompleks yang berakar kuat dalam jaring-jaring sosial dan budaya masyarakat. Memahami faktor-faktor ini esensial untuk upaya pencegahan dan penanggulangan yang efektif.

Salah satu akar utama adalah hierarki gender dan budaya patriarki yang masih dominan. Sistem ini menempatkan laki-laki pada posisi superior dan perempuan (atau kelompok gender minoritas) pada posisi subordinat. Asimetri kekuasaan ini sering kali diterjemahkan menjadi pandangan bahwa tubuh perempuan adalah objek yang bisa dikontrol atau dimiliki, bukan subjek dengan otonomi penuh atas dirinya sendiri. Stereotip gender yang kaku—misalnya, "laki-laki harus dominan dan agresif" atau "perempuan harus pasif dan penurut"—turut menyuburkan lingkungan di mana kekerasan seksual bisa terjadi.

Selanjutnya, budaya diam dan impunitas memainkan peran krusial. Masyarakat sering kali memiliki kecenderungan untuk menyalahkan korban ( victim blaming ) atas kekerasan yang dialaminya, dengan pertanyaan seperti "mengapa ia berpakaian seperti itu?" atau "mengapa ia pergi ke tempat itu?". Hal ini menciptakan rasa malu dan takut bagi korban untuk melapor, sehingga pelaku merasa aman dan tidak mendapatkan konsekuensi hukum atau sosial yang setimpal. Budaya ini diperparah dengan minimnya edukasi seksualitas yang komprehensif, menyebabkan banyak orang tidak memahami konsep konsen (persetujuan) dan batasan tubuh secara benar.

Selain itu, normalisasi objektifikasi dan seksualitas agresif dalam media dan hiburan juga berkontribusi. Representasi yang bias dapat mereduksi individu menjadi sekadar objek seksual, mengaburkan batas antara fantasi dan realitas, serta secara tidak langsung membenarkan perilaku yang merendahkan atau memaksa.

Singkatnya, kekerasan seksual bukan semata-mata tindakan individu, melainkan manifestasi dari norma, nilai, dan struktur sosial yang bias dan merugikan. Mengubah realitas ini berarti menantang patriarki, membongkar stereotip gender, memberantas victim blaming, dan membangun budaya yang menghargai kesetaraan, otonomi tubuh, dan konsen sebagai fondasi utama interaksi sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *