Menguak Akar KDRT: Mengapa Kekerasan dalam Rumah Tangga Sulit Diberantas?
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena kompleks yang masih menjadi momok di banyak masyarakat. Angka kejadiannya yang tinggi seringkali membuat kita bertanya: mengapa? Untuk memahami dan menanggulanginya, kita perlu melihat lebih dari sekadar emosi sesaat, melainkan menguak akar masalah yang saling berkaitan.
Berikut adalah beberapa faktor utama penyebab tingginya angka KDRT:
-
Ketimpangan Kekuasaan & Budaya Patriarki:
Salah satu pilar utama adalah ketimpangan kekuasaan berbasis gender. Budaya patriarki yang masih kuat sering menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan subordinat. Ini bisa menumbuhkan persepsi bahwa kekerasan adalah alat kontrol atau bahkan ‘hak’ bagi pihak yang merasa berkuasa. Selain itu, anggapan bahwa KDRT adalah ‘masalah pribadi’ yang tidak boleh dicampuri memperparah keadaan. -
Beban Ekonomi & Stres Psikologis:
Tekanan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, atau kesulitan finansial dapat memicu stres tinggi dan frustrasi. Tanpa mekanisme koping yang sehat, emosi negatif ini bisa berujung pada pelampiasan kekerasan. Ditambah lagi, riwayat trauma masa kecil (misalnya pernah menjadi korban atau saksi kekerasan), masalah kesehatan mental (depresi, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian), atau penyalahgunaan zat (alkohol, narkoba) seringkali menjadi faktor pemicu langsung. -
Kurangnya Edukasi & Dukungan Sistemik:
Minimnya edukasi mengenai hak-hak individu dalam relasi, keterampilan komunikasi yang sehat, dan cara menyelesaikan konflik tanpa kekerasan juga berkontribusi. Banyak korban tidak tahu ke mana harus mencari bantuan atau takut melaporkan karena stigma sosial, ancaman, atau keraguan terhadap sistem hukum. Penegakan hukum yang lemah atau respons masyarakat yang kurang mendukung juga bisa mengirimkan sinyal bahwa kekerasan tidak akan ditindak serius.
Kesimpulan:
KDRT bukanlah masalah tunggal, melainkan jalinan kompleks dari faktor sosial, budaya, ekonomi, dan psikologis. Untuk memberantasnya, diperlukan upaya kolektif yang melibatkan perubahan paradigma gender, penguatan ekonomi keluarga, peningkatan literasi kesehatan mental, penegakan hukum yang tegas, serta dukungan sosial yang kuat bagi korban. Hanya dengan memahami akarnya, kita bisa membangun rumah tangga yang aman dan bebas dari kekerasan.