Hukuman Mati: Pencegah Kejahatan atau Debat Tak Berujung?
Perdebatan mengenai efektivitas hukuman mati sebagai alat pencegahan kejahatan berat adalah salah satu isu paling kontroversial dalam sistem peradilan pidana global. Proponen meyakini bahwa ancaman kehilangan nyawa akan memberikan efek jera mutlak, baik bagi calon pelaku (jera umum) maupun memastikan pelaku yang dihukum tidak akan mengulangi kejahatannya (jera spesifik/inkapasitasi permanen). Ide dasarnya adalah bahwa ketakutan akan sanksi tertinggi akan mencegah individu melakukan tindakan kriminal yang paling keji.
Namun, argumen ini menghadapi tantangan signifikan dari data empiris dan pandangan para ahli. Sebagian besar penelitian yang ada menunjukkan tidak adanya bukti konklusif bahwa negara atau wilayah yang menerapkan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan berat (seperti pembunuhan) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak. Fenomena kejahatan sangat kompleks, dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, psikologis, dan sistem penegakan hukum secara keseluruhan.
Banyak kriminolog berpendapat bahwa yang lebih efektif dalam mencegah kejahatan bukanlah beratnya hukuman, melainkan kepastian hukuman. Artinya, kemungkinan seorang pelaku tertangkap, diadili, dan dihukum, terlepas dari beratnya sanksi, jauh lebih berperan sebagai pencegah daripada ancaman hukuman mati yang mungkin jarang terjadi atau butuh waktu lama untuk dieksekusi.
Selain itu, pertimbangan moral, etika, dan risiko kesalahan fatal (eksekusi orang yang tidak bersalah) juga menjadi alasan kuat mengapa banyak negara menghapus hukuman mati, tanpa melihat peningkatan signifikan dalam angka kejahatan berat.
Singkatnya, klaim bahwa hukuman mati adalah pencegah kejahatan yang efektif masih menjadi subjek perdebatan sengit dan belum didukung oleh bukti ilmiah yang meyakinkan. Pencegahan kejahatan yang sesungguhnya mungkin lebih bergantung pada penegakan hukum yang kuat, sistem peradilan yang adil, serta penanganan akar masalah kejahatan di masyarakat.
